HUBUNGAN ANTARA kesehatan dan penghasilan jelas tak terpisahkan. Saya sendiri mengalaminya. Beberapa waktu lalu batuk akibat radang membuat saya tak bisa bekerja sehingga tak ada pemasukan. Ini baru contoh kecil yang kondisinya bisa berubah ketika saya sehat kembali dan bisa meraup rezeki tanpa gangguan kesehatan.
Bisa dibayangkan betapa sulitnya sekelompok orang yang mengalami diskriminasi akibat penyakit atau disabilitas yang mereka derita. Kesempatan bekerja atau belajar jadi berkurang sehingga kepercayaan dirinya ikut terpuruk. Akhirnya mereka terjebak dalam lingkaran setan: penyakit menyebabkan produktivitas ekonomi menurun yang berdampak pada langgengnya kemiskinan.
Mari dukung Indonesia bebas kusta. (Foto: pexels/Marcus Aurelius) |
Pengalaman pahit misalnya pernah dialami oleh Ardi Yansyah, OYPMK (Orang Yang Pernah Mengalami Kusta) yang kini didapuk sebagai Ketua Permata Bulukumba. Ketika ia menderita kusta, teman-temannya perlahan menjauh. Ia merasa terkucil dari pergaulan.
“Seakan-akan martabat mereka (penderita dan OYPMK) tidak seperti sebelumnya,” ungkapnya dalam diskusi yang digelar di akun Youtube KBR. Kondisi kian parah jikalau penderita kusta adalah orang miskin atau petani dengan penghasilan minim.
Ardi menambahkan bahwa penyakit kusta membuatnya terasing dari pergaulan sosial. Teman-teman yang sebelumnya sama-sama aktif di karang taruna tiba-tiba bersikap tak lazim, jauh berbeda dibanding saat dia belum menderita kusta. Saat bertemu, hanya bertegur sapa tidak lebih. Seolah tidak memanusiakan manusia sesuai martabatnya.
Untunglah perlakuan berubah ketika Ardi berkiprah dalam Perhimpunan Mandiri Kusta (PerMaTa) yang memberikan bantuan dan dukungan bagi penderita kusta agar tidak hilang kepercayaan diri mereka, lebih-lebih mencegah terjadinya kecatatan permanen (disabilitas) yang berbahaya.
Melihat kasus kusta di Indonesia
Perlakukan diskriminatif dalam lingkup sosial yang menimpa Ardi Yansyah mestinya tak perlu terjadi. Reaksi negatif tersebut terjadi mungkin akibat ketidakpahaman masyarakat tentang kusta. Selama ini kusta dianggap sebagai penyakit kutukan sehingga penderitanya harus dijauhi. Selain tak gampang menular, kusta juga bisa disembuhkan jika mendapat penanganan medis sesuai anjuran.
Sayangnya, kasus baru kusta di Indonesia bukannya menurun tetapi stagnan selama sepuluh tahun terakhir. Jumlah kasusnya mencapai 18.000 yang terbilang memprihatinkan, yakni menduduki posisi tertinggi ketiga di dunia setelah India dan Brazil.
Yang lebih mengkhawatirkan tentu saja karena kusta dapat menyebabkan seseorang mengalami disabilitas. Data per 2017 menyebutkan bahwa angka disabilitas akibat kusta berada di kisaran 6,6 orang per 1.000.000 penduduk. Fakta ini wajib jadi perhatian semua orang, bukan hanya pemerintah, sebab masih jauh dari target angka disabilitas kusta, yaitu kurang dari 1 orang per 1.000.000 penduduk.
Tingginya angka kusta di Tanah Air menandakan bahwa kita masih terkendala dalam penanganan kusta sejauh ini. Melihat kasus yang menimpa Ardi, publik sepertinya belum memiliki pemahaman yang baik seputar kusta. Maka sosialisasi tentang penyakit kusta dan bagaimana dampaknya jika terlambat ditangani perlu digodok sebagai program atau kegiatan yang rutin dan masif.
Kusta di kancah global
Bagaimana dengan kejadian kasus kusta di kancah dunia? Pada tahun 2021 rupanya terjadi peningkatan jumlah pasien kusta baru. Ada lebih dari 140.594 pasien yang tercatat di seluruh dunia. Boleh jadi meroketnya jumlah pasien kusta adalah lantaran wabah COVID-19 yang sempat menyerang dunia sehingga penanaganan kusta sempat tersisihkan.
Meskipun jumlah pasien baru lebih rendah dibanding sebelum pandemi COVID-19, yakni sekitar 200.000 kasus, tapi para pemimpin dunia tak bisa menyepelekan kasus ini mengingat keterlambatan dalam penemuan dan pengobatan kusta bisa menyebabkan disabilitas dan hilangnya produktivitas penderita.
Itulah sebabnya KBR talkshow bertajuk #SuarauntukIndonesiaBebasKusta diadakan pada bulan Juli 2023 sebagai bagian dari upaya meningkatkan kesadaran kolektif mengenai kusta. Acara ini digelar bertepatan dengan kunjungan dan diskusi Sasakawa Health Foundation (SHF), yang menjadi salah satu donor potensial atas inisiatif NLR Indonesia.
Melalui kegiatan ini, SHF berkunjung ke proyek PEP++ NLR Indonesia yang ada di Jakarta dan Jawa Timur guna mempelajari pengelolaan program PEP++ oleh NLR Indonesia, termasuk program penanganan kusta lainnya di seluruh Tanah Air.
Mengenal Sasakawa Health Foundation
Salah satu narasumber dalam talk show tersebut adalah Ms. Aya Tobiki yang merupakan Chief Program Officer dalam program penanganan Hansen's Disease atau kusta di bawah Sasakawa Health Foundation. Sasakawa Foundation adalah LSM asal Jepang yang didirikan tahun 1974 dengan nama Sasakawa Memorial Health Foundation dengan tujuan menghapus penyakit kusta dari permukaan dunia.
Pendirinya adalah Profesor Morizo Ishidate, yang dikenal sebagai bapak kemoterapi untuk penyakit kusta di Jepang. Beliau juga menjadi ketua pertama organisasi ini. Pendiri lainnya adalah Mr. Ryoichi Sasakawa, founder The Nippon Foundation yang didapuk menjadi presiden pertama SHF.
Aya Tobiki menuturkan bahwa SHF fokus pada pengendalian penyakit kusta dan promosi kesehatan masyarakat (community health) sebagai dua pilar dalam setiap aktivitasnya. Jika program penanganan kusta dilakukan di banyak negara, maka community health hanya dilakukan di Jepang.
Adapun penanganan kusta oleh Sasakawa Foundation berpijak pada tiga pilar, yaitu mengatasi penyakit kusta, menghilangkan diskriminasi terhadap penderita atau OYPMK, dan mencatat sejarah atau riwayat penanganan kusta.
Disinggung tentang visi, Aya menjelaskan bahwa visi SHF adalah better health & dignity for all. Dalam konteks ini, SHF ingin mendorong agar setiap orang mendapatkan kesejahteraan secara fisik, mental, sosial dan spiritual tanpa memandang siapa mereka, di mana mereka tinggal, dan apa pun kondisinya sehingga martabat mereka bisa terjaga.
Visi ini disempurnakan dengan misi yang mulia, yakni mendukung agar semua orang menjalani hidup sehat dan bermartabat tanpa ada diskriminasi.
NLR Indonesia untuk Indonesia bebas kusta
Asken Sinaga selaku Executive Director NLR Indonesia menuturkan hal senada tentang penanganan kusta. Merujuk visi organisasi, Asken mempertegas bahwa NLR hadir untuk mewujudkan Indonesia bebas kusta dan mengatasi kosekuensinya.
Adapun misinya adalah mencegah, mengobati, dan mengurangi diskriminasi serta meningkatkan inklusi. Lewat visi dan misi ini, NLR Indonesia sebagai lembaga nirlaba dan non-pemerintah mencoba melihat gap atau kesenjangan, yakni area mana yang belum tersentuh atau digarap oleh pemerintah.
NLR Indonesia berupaya mengatasi kusta dengan menggunakan pendekatan tiga zero, yaitu zero transmission (nihil penularan), zero disability (nihil disabilitas), dan zero exclusion (nihil eksklusi). Tujuannya agar penderita kusta atau OYPMK bisa hidup produktif dan bermartabat.
Dalam mengisi kekosongan atau gap yang belum digarap pemerintah, NLR Indonesia berusaha menciptakan inovasi dalam mengatasi kusta. Inovasi ini diharapkan mampu mendorong agar penanganan kusta semakin cepat, efektif, dan efisien.
Selain memberikan dukungan teknis bagi para pelaku program di Indonesia, NLR juga melakukan awareness raising dengan mengedukasi masyarakat seputar kusta seluas-luasnya melalui berbagai platform komunikas—baik konvensional maupun digital.
Asken mengakui bahwa penanganan kusta menuntut kerja sama berbagai pihak. Itulah sebabnya NLR Indonesia menggalang bantuan atau menjalin jejaring dengan para pelaku program. Misalnya berkolaborasi dengan LSM disabilitas, lembaga riset, dan kelompok pemuda yang punya inovasi demi mempercepat terwujudnya eliminasi kusta di Indonesia.
Kolaborasi dan inklusi
Sebagai wujud partisipasi dan upaya kolaborasi Sasakawa Health Foundation, Aya Tobiki menyempatkan berkunjung ke tiga kota di Indonesia, yaitu Pasuruan, Indramayu, dan Cirebon. Di Pasuruan, Aya mengunjungi Puskesmas Nguling di mana ia menyaksikan betapa stakeholders setempat sangat kompak dalam penanganan kusta.
Ia mengaku terkesima oleh semangat ibu-ibu PKK yang begitu gembira berjoget bersama dalam irama musik kusta lalu dilanjutkan dengan edukasi kusta.
Adapun di Indramayu, Aya melihat dua proyek: SDR PEP dan peer counseling. Aya mengaku terkesan oleh sinergi dinas kesehatan dari level provinsi hingga puskesmas melalui sistem rujukan yang terbangun rapi.
Aya tak bisa melupakan sepenggal pengalaman saat bertemu seorang gadis cantik yang tinggal bersama neneknya. Gadis kecil ini terkena kusta tapi pengobatan dihentikan oleh sang nenek sebab beliau meyakini menderita kusta itu memalukan.
Saat ibu si anak kembali dari luar negeri, ia pun segera membawa ke puskesmas terdekat agar sang anak mendapatkan pengobatan semestinya sampai sembuh.
Hal lain yang menarik perhatian Aya adalah adanya peer counselor yakni sahabat sebaya yang pernah mengalami kusta dan memberikan motivasi bagi penderita kusta agar pulih mentalnya dan menjalani pengobatan sampai tuntas sesuai anjuran dokter.
Sedangkan di Cirebon, Aya menyaksikan proyek bernama Mardika. Dalam proyek ini terdapat kegiatan yang menarik, yaitu income generation alias perolehan pendapatan. OYPMK menghasilkan produk kerajinan tangan dengan bahan yang ramah lingkungan.
Dengan kolaborasi dan penanganan bersifat inklusif, kita berharap kusta bisa dieliminasi dari Bumi Pertiwi. Berkat dukungan NLR Indonesia dan Sasakawa Health Foundation yang terus memberikan kontribusi bagi pengendalian kusta di Nusantara, semua orang bisa mendapatkan martabatnya karena hidup sehat dan berdaya—seperti yang dialami Ardi Yansyah.
0 comments:
Post a Comment