GRESIK which was normally hot and sticky was relatively ideal that afternoon. The sky was dim with clouds despite no rain. It was friendly until midday prayer that my visit to the Sanggraloka Batik Bangsawan in Sungonlegowo had become a permanently pleasant experience.


I had the privilege on Thursday (16/02/2023) to visit the Batik Bangsawan production site, accompanied by Nur Kholis, who prefers to be called a workshop leader rather than the founder or a business owner. The conversation went lively while I was watching the batik artisans carve colors on the selected fabrics.


Batik Bangsawan has accelerated the local economy and helped local tradition preserved.


The unique Gresik Batik

If the Bungah District was previously known as a center for the production of national-scale songkok or religious caps, as well as shrimp paste and otak-otak, now Batik Bangsawan has emerged as a unique, prestigious commodity for tourists to bring as a special souvenir. In addition to economic value, every batik product by Nur Kholis comes with a dynamic, fresh design and adopts local culture in an effort to maintain tradition.


"In the past, the Bungah area had many songkok craftsmen, even to the national market. But due to a lack of regeneration, this business is no longer lucrative. While the brand exists, the production is actually sub-produced in other cities, including Lamongan," said Nur Kholis when explaining how he came to run the batik business along with his wife.


Kholis and his wife were into the batik business back in 2011 when they were selling various batik products made in different cities including Pekalongan, Central Java and Madura, East Java. It was not until 2015 that they shifted into batik production under the umbrella of Batik Bangsawan.


“In a batik exhibition a visitor inquired if I had batik of my own, those made in Gresik whre I live. That is when an idea sparked for us to have our own batik brand,” Kholis affirmed. 


Together with his beloved wife, he decided to visit several cities known for their batik to learn about it. He started learning how fabrics are selected, the batik techniques, and how to design them seriously by studying one of them from a Sidoarjo artist.


Motif merak besutan Batik Bangsawan yang sangat menarik perhatian


Dari lompongan meraup kesuksesan

Sejak itulah karya demi karya Kholis hasilkan lewat belajar dan ketekunan. Uniknya, usaha itu ia mulai dari bilik sempit yang ada di sebelah rumah mertuanya yang disebut dengan lompongan oleh warga setempat. Lompongan adalah ruang kosong yang sempit dan biasanya memanjang yang memisahkan dua rumah di pedesaan. Deretan rumah ini kerap dihuni oleh warga yang masih terjalin kekerabatan.


Salah satu karya terbaik yang lahir di bilik mungil tersebut adalah Suluk Lontar Surowiti. Menurut Kholis, Batik Bangsawan sengaja menciptakan corak ini sebab terinspirasi oleh filsafat Jawa yang sangat populer.


Surowiti adalah nama sebuah desa yang terletak di pesisir utara Gresik. Berada di perbukitan, desa ini turut menjadi bagian dari sejarah panjang Tanah Jawa. Di sinilah bisa ditemukan jejak Brandal Lokajaya, yakni anak bangsawan Tuban yang hidup sebagai berandalan yang kemudian menempa diri bersama para muridnya hingga menjadi tokoh yang sangat berpengaruh. Dia tak lain adalah Sunan (Susuhunan) Kalijaga. 


Suluk Lontar Surowiti yang mengabadikan nilai-nilai filsafat Jawi


Corak batik Suluk Lontar Surowiti mengabadikan ajaran dan wejangan penting Sunan Kalijaga tentang jalan hidup (suluk) orang Jawa sebagaimana tecermin dalam pohon lontar atau siwalan yang cukup filosofis. 


Mengutamakan nilai kebermanfaatan

Dari pohon lontar kita belajar tentang nilai kebermanfaatan. Mulai dari batang, buah, sampai daunnya bisa dimanfaatkan. Buahnya bisa dikonsumsi untuk meredakan gangguan pencernaan. Pelepah dan daunnya sering dimanfaatkan, misalnya oleh masyarakat Pulau Rote, sebagai bahan baku pembuatan atap rumah secara tradisional. Pada masa lalu daun lontar juga diandalkan sebagai media tulis atau gambar penyampai pesan.


Nur Kholis ingin agar kebermanfaatan menjadi value bagi usaha yang ia kelola. Ia ingin bermanfaat bagi sesama sebagaimana pohon siwalan yang ikhlas berbagi keberkahan di mana pun dia ditakdirkan. Nilai ini ia terjemahkan dengan mengajak pemuda setempat menjadi cantrik atau penggiat batik di sanggarnya alih-alih bekerja di pabrik yang lebih mudah.


“Saat ini pembatik tulis (di sanggar) ada 5,” ujarnya singkat dalam wawancara terpisah. “Lalu ada dua orang sebagai tukang cap dan empat orang penjahit,” tuturnya lebih lanjut. Selain batik tulis, Kholis ternyata menjalankan usaha batik cap untuk memenuhi permintaan pasar menengah ke bawah.


Suluk Lontar Surowiti dengan hiasan lirik lagu LIR-ILIR dalam aksara Hanacaraka

Demi mengurangi biaya operasional, ia sengaja tidak memiliki stok batik karena rata-rata pesanan selama ini adalah customized atau berdasarkan permintaan pembeli, baik warna, desain maupun motifnya. 


Untuk membantu rekan sesama pembatik, Batik Bangsawan memiliki sebuah toko di Pasar Bungah yang menjual produk batik siap pakai seperti gamis atau daster. Selain mendapatkan keuntungan untuk mendukung produksi batiknya, pada saat yang sama Kholis juga membuka pasar bagi produsen batik fashion misalnya dari Pekalongan.


Kesuksesan adalah pemberdayaan

Meski enggan menyebut angka penjualan setiap bulan, Batik Bangsawan kini kian berkibar sebagai usaha kriya yang dikenal luas dengan satu unit mobil sebagai armada usaha dengan pesanan dominan dari pasar korporat yang sehelai kainnya berkisar Rp500 ribu hingga 2 juta.


“Saat menjadi juara I Jatim kemarin, kami mengusung konsep community development, di mana human resource diambil dari desa kami sendiri. Dan yang penting mengambil local wisdom setempat juga (sebagai tema batik),” ujar Nur Kholis mengenang kemenangan Batik Bangsawan.


Lebih lanjut ia menyebut langkahnya ini sebagai manifestasi dari program pemerintah yakni One Village One Product (OVOP), yang oleh Gubernur Jatim Khofifah Indar Parawansa diadaptasi menjadi OPOP alias One Pesantren One Product.


Kholis meyakini bahwa konsep OVOP bisa berhasil jika UMKM memiliki konsep community development. Dalam konteks usahanya, para pembatik, penjaga toko, fotografer, penjahit, dan fotomodel berasal dari satu desa yang sama.


Bank Syariah membuat mudah

Kendati berat, ia tak menyerah. Ibarat pohon siwalan yang usianya sangat panjang dan berbuah tanpa mengenal musim, ia ingin agar Batik Bangsawan bisa mengajak pemuda Gresik agar melestarikan budaya lewat sanggar yang ia kelola. Tidak melulu tergiur bekerja di pabrik sehingga khazanah budaya setempat yang adiluhung akhirnya pupus dan hilanglah kekayaan lokalitas.


Buku yang direncanakan terbit untuk mengabadikan keunikan dan kemewahan desain Batik Bangsawan 


Ke depan ia berharap Sanggraloka miliknya bisa mewadahi sekolah batik dan juga lini penerbitan. Saat ini ia tengah menyiapkan penerbitan buku berisi 50 desain dan motif batik khas Batik Bangsawan dengan pesona menawan yang berpotensi menyihir pembaca juga penikmat batik di seantero Nusantara. Dengan cara ini Nur Kholis bisa mengangkat ekonomi setempat sambil mengupayakan agar budaya khas lokal tetap terawat.


Jika di awal memulai usaha ia mendapatkan pendanaan dari bank, maka kini ia berharap mendapat sokongan dana dari Bank Syariah untuk bisa terus Tumbuh Seimbang Berkelanjutan. Tumbuh sebagai usaha yang mencatatkan keuntungan. Seimbang karena bukan hanya memikirkan sisi profit, melainkan memberi manfaat dalam bentuk pemberdayaan. Berkelanjutan dengan terus menggali nilai-nilai lokal dan budaya setempat dalam setiap corak atau desain Batik Bangsawan.


Dari kisah Batik Bangsawan kita bisa petik pelajaran menarik. Bahwa mengangkat taraf ekonomi warga di daerah tidak selalu butuh modal besar atau ide yang mentereng. Menggarap usaha batik yang dekat dengan kita pun sebenarnya potensial. Usaha di desa justru memungkinkan adopsi kearifan lokal ini sekaligus menyerap tenaga setempat tanpa harus berurbanisasi.